Ronald SIAGIAN / AFP

Masyarakat Perlu Menolak Pemanfaatan Danantara Untuk Proses Hilirisasi Batu Bara

Kamis, 13 Mar 2025

Pemerintah Indonesia berencana untuk melanjutkan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) di tiga lokasi yang terletak di Sumatera dan Kalimantan. Proyek ini berpotensi mendapatkan dukungan pendanaan dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Rencana ini merupakan salah satu arahan dari Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas yang diadakan bersama Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional baru-baru ini.

Firdaus Cahyadi, pendiri Indonesian Climate Justice Literacy, menganggap bahwa rencana pemerintah tersebut tidak tepat. Ia berpendapat bahwa batu bara merupakan sumber energi yang kotor, baik dari proses pertambangan hingga pembakarannya.

Ia menjelaskan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari gasifikasi batu bara lebih tinggi dibandingkan dengan LPG atau Liquid Petroleum Gas. Menurut Firdaus, emisi GRK ini terjadi mulai dari proses ekstraksi batu bara sebagai bahan baku hingga proses produksi DME di hilir.

Ia menegaskan bahwa gagasan pendanaan dari Danantara harus ditolak. Organisasi lingkungan hidup Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) juga menyatakan bahwa emisi GRK yang dihasilkan dari produk DME mencapai lima kali lipat lebih besar dibandingkan dengan produksi LPG dalam jumlah yang sama, yaitu 824.000 ton CO2 ekuivalen per tahun.

Batu bara merupakan salah satu jenis energi fosil. Setiap aktivitas yang melibatkan energi fosil berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Selain itu, di tahap awal, yaitu di lokasi pertambangan, kegiatan ini dapat merusak lingkungan dan memicu konflik sosial. Oleh karena itu, masyarakat perlu mulai bersuara menolak pendanaan Danantara untuk hilirisasi batu bara, ungkapnya kepada VOA pada Selasa (11/3).

Dengan ironis, Firdaus menyatakan bahwa di saat masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional, semakin sadar akan pentingnya menjaga lingkungan dengan menghindari energi kotor seperti batu bara, pemerintah justru berupaya memperpanjang penggunaan batu bara melalui solusi yang tidak efektif seperti gasifikasi batu bara. Ia berpendapat bahwa pendanaan Danantara untuk hilirisasi batu bara lebih bertujuan untuk menyelamatkan industri batu bara daripada untuk kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Firdaus menambahkan bahwa ini bukanlah kali pertama pemerintah berusaha menyelamatkan industri batu bara yang semakin ditinggalkan di tingkat internasional. Sebelumnya, pemerintah juga telah berupaya menyelamatkan sektor ini dengan memberikan konsesi tambang batu bara kepada berbagai organisasi massa.

Dr. Ismail Rumadhan, peneliti di Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus pengajar hukum pertambangan di Universitas Nasional, menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk berhati-hati dan mempertimbangkan dengan matang sebelum mengambil keputusan untuk mendanai proyek hilirisasi batu bara.

Ismail menyatakan bahwa langkah ini perlu diambil untuk mencegah meningkatnya dugaan dan kecurigaan publik terkait kurangnya transparansi Danantara dalam pengelolaan dana yang diperoleh dari badan usaha milik negara (BUMN) serta efisiensi anggaran yang berdampak pada berbagai program pemenuhan kebutuhan dasar dan pelayanan publik.

Ia juga menambahkan bahwa meskipun ada pertimbangan bisnis dan ekonomi, hilirisasi batu bara dapat berkontribusi pada pengembangan energi alternatif, seperti gasifikasi batu bara dan produksi bahan bakar cair. Namun, penting untuk diingat bahwa pembiayaan proyek hilirisasi batu bara harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Pemerintah, menurutnya, harus memastikan bahwa proyek tersebut tidak hanya menguntungkan sektor industri, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.

“Dengan adanya proyek hilirisasi batu bara, permintaan untuk eksploitasi batu bara akan meningkat. Perusahaan tambang mungkin akan melakukan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk memenuhi kebutuhan proyek tersebut. Tentu saja, hal ini dapat berdampak signifikan terhadap kerusakan sosial dan ekologis,” tuturnya.

Ismail menyatakan bahwa salah satu dampak lainnya adalah potensi penyalahgunaan wewenang. Perusahaan tambang mungkin melakukan penyalahgunaan tersebut untuk memenuhi kebutuhan yang lebih besar.

Kepala Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa proyek ini bertujuan untuk mengolah batu bara berkalori rendah, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada impor elpiji atau LPG.

Ia menambahkan bahwa pendanaan untuk proyek ini akan bersumber dari anggaran negara dan perusahaan swasta nasional. Ini merupakan pergeseran dari rencana pengembangan DME sebelumnya yang mengandalkan investor asing. Dengan skema baru ini, pemerintah berupaya memastikan bahwa proyek DME tidak lagi tergantung pada keputusan investor asing yang mungkin menarik diri di tengah jalan.


Tag:



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.