Dalam konteks upaya global untuk transisi energi, Indonesia menghadapi tantangan signifikan: bagaimana memastikan bahwa energi baru terbarukan (EBT) tetap dapat diandalkan meskipun sifatnya tidak konsisten. Energi surya dan angin, yang merupakan dua pilar utama EBT di Indonesia, bersifat intermittent, yaitu hanya dapat menghasilkan listrik saat matahari bersinar atau angin bertiup. Ketika kedua sumber ini tidak aktif, sistem menjadi rentan. Tanpa adanya solusi sistemik, situasi ini dapat mengancam kedaulatan energi nasional. Oleh karena itu, Sistem Penyimpanan Energi Nasional atau Energy Storage System (ESS) harus dipandang bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai fondasi dari sistem energi baru. Negara-negara maju telah lebih awal menyadari hal ini dan menginvestasikan miliaran dolar untuk memperkuat sistem penyimpanan energi mereka. Kini, saatnya bagi Indonesia untuk mengambil langkah serupa. Energi yang tidak dapat disimpan sejatinya bukanlah energi yang sepenuhnya dapat diandalkan. Tanpa sistem penyimpanan yang kuat, EBT hanya dapat dimanfaatkan saat sumbernya tersedia. Sistem kelistrikan nasional akan tetap bergantung pada PLTU dan PLTD. Beban puncak sulit diatasi tanpa penggunaan BBM sebagai cadangan, yang membuat Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi pasar energi global. Padahal, potensi EBT Indonesia sangat besar: lebih dari 3.600 GW potensi surya, 155 GW potensi angin, serta puluhan gigawatt dari hidro, panas bumi, dan biomassa. Sayangnya, semua potensi ini akan menjadi tidak relevan tanpa adanya solusi penyimpanan energi skala besar dan sistemik. Dalam hal ini, China memimpin dunia dalam implementasi dan investasi ESS. Pada tahun 2023, kapasitas ESS mereka telah mencapai lebih dari 16 GW, dan pemerintah China menargetkan kapasitas ESS sebesar 100 GW pada tahun 2030. China mengintegrasikan ESS dalam semua proyek EBT skala besar, mulai dari PLTS di gurun Gobi hingga pembangkit angin lepas pantai. Investasi besar-besaran juga dilakukan dalam pengembangan baterai sodium-ion dan sistem pumped hydro storage sebagai solusi jangka panjang. Melalui program Penyimpanan Energi Durasi Panjang (LDES), Departemen Energi Amerika Serikat memberikan dana untuk penelitian dan pengembangan teknologi Penyimpanan Energi Terbarukan (ESS) yang tidak menggunakan baterai, seperti penyimpanan hidrogen, penyimpanan termal, dan Penyimpanan Energi Udara Terkompresi (CAES). Tujuan mereka adalah untuk menciptakan ESS yang dapat bertahan lebih dari 10 jam. California menjadi pelopor dengan lebih dari 5 GW ESS yang terpasang, didorong oleh regulasi yang ketat dan pasar listrik yang kompetitif. Konsumen rumah tangga juga didorong untuk memanfaatkan sistem solar + penyimpanan, dengan insentif yang terkait dengan keandalan pasokan energi saat terjadi kebakaran hutan atau pemadaman yang direncanakan. Jerman mengembangkan ESS tidak hanya dalam skala utilitas, tetapi juga dekat dengan masyarakat. Pemerintah mendukung pembentukan koperasi energi yang mengoperasikan ESS komunitas, memungkinkan rumah tangga untuk berbagi listrik. Dengan kapasitas ESS rumah tangga yang mencapai ratusan MWh, Jerman berhasil mengurangi tekanan pada jaringan listrik dan menghindari pemborosan produksi energi terbarukan saat puncak siang hari. India menetapkan target 50 GW ESS pada tahun 2030. Proyek Misi Penyimpanan Energi Baterai Nasional difokuskan untuk mendukung ekspansi taman solar dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Rajasthan, Gujarat, dan Tamil Nadu. Pemerintah India bahkan melelang proyek ESS dalam skala gigawatt dengan skema tarif tetap, yang menjamin pengembalian modal bagi investor swasta. Korea Selatan memanfaatkan ESS sebagai pendorong untuk memperkuat industri baterainya. ESS tidak hanya dipandang sebagai infrastruktur energi, tetapi juga sebagai bagian dari strategi industri nasional. Pemerintah memberikan subsidi hingga 50% untuk ESS yang digunakan di gedung-gedung komersial, kawasan industri, dan transportasi publik. Kapasitas Sistem Penyimpanan Energi (ESS) di Indonesia saat ini masih sangat terbatas, dengan total kurang dari 0,1 GW, yang sebagian besar berasal dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berskala kecil dan sistem hibrida di daerah terpencil. Hingga saat ini, belum ada peta jalan nasional atau kebijakan yang mewajibkan adanya komponen penyimpanan dalam proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) berskala besar. Indonesia memiliki keunggulan strategis, seperti cadangan nikel, kobalt, dan mangan untuk industri baterai; ribuan pulau yang dapat dijadikan proyek percontohan microgrid dan ESS; kawasan industri hijau di Kalimantan Timur sebagai zona integrasi PLTS-baterai-industri; serta sumber daya manusia muda yang dapat dilatih dalam pengembangan ESS. Namun, tanpa adanya kebijakan yang jelas, keunggulan ini berpotensi menjadi jebakan komoditas biasa. Pemerintah perlu segera menetapkan target nasional untuk Sistem Penyimpanan Energi secara berkala, seperti 1 GW ESS pada tahun 2030 dan 10 GW ESS pada tahun 2045. Proyek percontohan dapat dibangun di Kalimantan Timur untuk mendukung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Hijau berbasis PLTS dan hidrogen, di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua untuk daerah terpencil yang tidak terhubung ke jaringan listrik, serta di Jawa Tengah untuk integrasi dengan PLTS industri dan beban puncak di Jawa. PT PLN (Persero), sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki kapabilitas teknis, pengalaman operasional, dan kapasitas kelembagaan yang memadai, seharusnya diberikan peran strategis sebagai pelaksana utama atau integrator dalam pengelolaan proyek ini. Mengingat posisi PLN yang memiliki jangkauan nasional dan pengalaman dalam pengelolaan infrastruktur energi, keterlibatan langsung PLN menjadi sangat penting, terutama dalam mengoordinasikan dan membawahi BUMN lain yang relevan seperti Pertamina Power dan Indonesia Battery Corporation, untuk memastikan sinergi, efisiensi, dan keberhasilan implementasi proyek secara menyeluruh. Danantara Indonesia dapat berperan sebagai investor jangka panjang yang strategis. Insentif fiskal seperti penghapusan pajak dan nol bea masuk untuk sistem penyimpanan energi (ESS) serta komponen baterai sangatlah krusial. Pemberian premium untuk daya yang disimpan dan dilepaskan pada saat beban puncak juga perlu dipertimbangkan. Selain itu, pembentukan Pusat Riset Penyimpanan Energi Nasional dan program beasiswa riset untuk pengembangan baterai pasca-lithium sangat diperlukan. Sistem transmisi dan distribusi listrik di Indonesia saat ini sangat terpusat dan rentan terhadap gangguan. Ketika satu gardu induk utama mengalami gangguan, dampaknya dapat meluas dan mengganggu wilayah yang luas. Gangguan yang disebabkan oleh bencana alam, ketidakseimbangan beban, atau kerusakan teknis telah berulang kali menyebabkan pemadaman listrik berskala besar. Studi internasional memperkirakan bahwa kerugian akibat pemadaman listrik dapat mencapai 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tanpa sistem penyimpanan yang memadai, sektor-sektor penting seperti rumah sakit, logistik, dan industri akan sangat rentan terhadap situasi darurat. ESS dapat berfungsi sebagai pelindung terakhir yang menjaga kelangsungan ekonomi. ESS mampu menciptakan titik-titik ketahanan energi di lokasi-lokasi penting seperti rumah sakit, fasilitas darurat, kawasan industri dan manufaktur, pelabuhan, bandara, serta pusat logistik dan kawasan perdagangan digital. ESS merupakan bagian integral dari infrastruktur nasional yang baru. Seperti halnya jalan tol dan pelabuhan, ESS harus menjadi tulang punggung kedua dalam sistem kelistrikan modern. Dengan sistem yang terdesentralisasi dan modular, Indonesia akan lebih siap menghadapi guncangan di masa depan. Energi yang paling strategis adalah energi yang tersedia ketika semua sistem lainnya gagal. ESS bukan hanya sekadar mendukung energi baru terbarukan (EBT), tetapi juga mempertahankan fungsi dasar negara. Energi yang tersimpan adalah simbol kedaulatan. Sudah saatnya Indonesia membangun Sistem Penyimpanan Energi Nasional sebagai bagian dari arsitektur ketahanan nasional.