Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah mengeluarkan perintah eksekutif untuk meningkatkan produksi batubara, meskipun harga komoditas tersebut mengalami penurunan yang signifikan akibat meningkatnya ketegangan dalam perang dagang global. Pengumuman ini disampaikan pada hari Selasa, 8 April. Dalam pernyataannya, Trump menegaskan komitmennya untuk mengangkat kembali industri batubara yang belakangan ini mengalami kemerosotan. Tindakan Trump dianggap bertentangan dengan tren global yang saat ini beralih ke sumber energi terbarukan. Berdasarkan data dari Administrasi Informasi Energi AS (EIA), kontribusi pembangkit listrik tenaga batubara diperkirakan hanya akan mencapai 4,7% dari total produksi listrik nasional pada tahun 2025, seiring dengan pesatnya perkembangan pembangkit tenaga surya dan angin. Tekanan terhadap harga batubara semakin meningkat. Menurut data Trading Economics per Kamis, 10 April, pukul 19.23 WIB, harga batubara tercatat sebesar US$ 96,5 per ton, mengalami penurunan harian sebesar 1,5% dan penurunan bulanan sebesar 7,74%. Ini merupakan level terendah dalam hampir empat tahun, mendekati titik terendah sebesar US$ 94 per ton yang tercatat pada 12 April 2021. Penurunan harga juga disebabkan oleh peningkatan produksi dari dua negara penghasil utama di dunia, yaitu China dan Indonesia. China menargetkan produksi batubara tahun ini mencapai 4,82 miliar ton, melebihi rekor 4,7 miliar ton yang dicapai tahun lalu. Sementara itu, Indonesia juga meningkatkan target produksinya dari 710 juta ton pada 2024 menjadi 735 juta ton pada 2025, berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Situasi saat ini mencerminkan pola yang serupa di pasar minyak. Kelebihan pasokan yang tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan telah menekan harga komoditas energi secara keseluruhan, di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat kebijakan tarif yang diterapkan oleh Trump yang bersifat "timbal balik". Pendiri Traderindo, Wahyu Laksono, berpendapat bahwa tekanan harga ini merupakan fenomena yang terjadi secara luas di sektor energi. “Jika kita membahas tentang fundamental energi, kelebihan pasokan pada minyak dan batubara menjadi faktor utama yang menyebabkan penurunan harga,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (10/4). Wahyu menyatakan bahwa meningkatnya ketegangan perdagangan dapat memicu terjadinya resesi global. Kondisi ini berpotensi memperburuk prospek harga komoditas energi. Ia memperkirakan bahwa harga batubara akan tetap tertekan hingga pertengahan tahun, dengan kemungkinan bergerak dalam kisaran US$ 50 hingga US$ 120 per ton selama kuartal II-2025.